BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Monday, November 5, 2012

~Nikah~

Photo: Nikahi Aku Seutuhnya

Nikah itu ibadah

Nikah itu suci

Nikah itu memang bisa karena harta, bisa

karena kecantikan, bisa karena keturunan dan bisa karena agama

Jangan engkau jadikan harta, keturunan maupun kecantikan sebagai alasan, karena semua itu akan mencelakakan kita

Jadikanlah agama sebagai alasan, niscaya engkau akan mendapatkan kebahagiaan

Tidak dipungkiri bahwa keluarga terbentuk karena cinta

Namun jika engkau jadikan cinta sebagai landasan, maka keluargamu akan rapuh akan mudah hancur

Jadikanlah Allah sebagai landasan, niscaya engkau akan selamat

Tidak saja didunia tapi juga di akhirat.

Jadikanlah ridho Allah sebagai tujuan, niscaya mawaddah, sakinah dan rahmah akan tercapai


Ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Fadiah, aku telah bersumpah untuk menerimanya apa adanya, karena dialah pilihanku saat ini. Apalagi ibuku sangat menyukainya.

“Kamu harus ikhlas menerima Fadiah sebagai isterimu” kata Ibu menasehatiku.

“Insya Allah, Bu” Jawabku sambil tersenyum. Namun demikian tetap saja terjadi pergulatan jiwa yang sulit selama berhari-hari, karena ketakutanku menghadapi perubahan dalam menjalani hidupku nanti. “Hei, Sufi Anak Zaman tidak boleh lemah semangat” kata ibu ketika melihatku menjadi loyo. Aku tersenyum mendengar perkataan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, ah Ibu, engkaulah pelita hidupku.

Sebenarnya aku baru tiga bulan mengenal Fadiah, itupun aku tidak yakin apakah aku cinta atau tidak padanya. Yang kurasakan hanyalah keberadaan Fadiah membuat aku ingin memilikinya. Ia memiliki apa yang kuharapkan selama ini, cantik, keturunan baik-baik, dan taat beragama. Dengan hati yang bulat akhirnya aku mantapkan niat untuk menikah dengan Fadiah, karena ia telah memenuhi kriteriku, apalagi ibu sangat mendukungnya. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas pada saat khitbah (lamaran) tiba aku melihat wajah Fadiah yang baby face dan anggun begitu bahagia menerima lamaran ini. Namun satu hal yang masih sangat menggangguku, disaat pernikahan sudah semakin dekat, aku tergoda oleh gadis lain yang memiliki wajah jauh di atas rata-rata, Namanya Grasia, ia begitu mirip dengan gadis-gadis bintang sabun mandi terkenal, tinggi semampai, wajahpun putih jelita dengan hidung yang bangir dan melengkung indah, ditambah lagi mata yang bening serta bibir merah, ramah dalam bertutur kata, sungguh sangat menawan. Ia kaya dan mempunyai karir cemerlang di perusahaan tempatnya

bekerja. Baru tiga tahun bekerja ia telah dipercaya sebagai kepala salah satu divisi di sana. Sungguh, Grasia begitu menggoda.


Dihari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menghilangkan bayang-bayang wajah itu, aku konsentrasikan pikiranku hanya untuk Fadiah calon isteriku, namun ternyata usahaku itu hanyalah sia-sia semata. Aku ingin menyampaikannya pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Aku ingin membatalkan pernikahan itu, tapi wajah ibuku yang sedang menangis jika hal itu terjadi selalu membayangiku. Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa mengingat Grasia yang telah mencuri hatiku. Sedang apa dia sekarang? Kenapa dia tidak muncul di pesta pernikahanku? Padahal aku telah mengundangnya dan dia berjanji untuk datang ke pestaku. Beribu pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Betapapun meriahnya pesta pernikahan itu, semuanya terasa menusuk-nusuk hatiku. Kulihat Fadiah tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku bergemuruh. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT karena pernikahan ini telah direstui ibu yang  kucintai.


Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi hatiku bukan ke Fadiah, tapi ke gadis lain yang sedang kucinta, hanya karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya, maka aku tetap bersikap romantis pada Fadiah.

Fadiah tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Akhirnya kami memutuskan untuk hidup mandiri, kuajak Fadiah pindah ke rumah kontrakan di lorong sempit pinggir kota Palembang, tapi dekat dengan tempatku bekerja. Di sinilah mulainya kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah untuk mencintai Fadiah kembali, hatiku sudah dibawa oleh Grasia yang mungkin kecewa dengan pernikahanku. Akhirnya aku mengunjungi Grasia, aku mampu bercengkerama berlama-lama dengannya. Ia sangat kecewa. Tapi dia masih menerima kehadiranku, akupun rasanya tak ingin lepas dari Grasia. Tapi aku tahu ini salah, walaupun tanpa sepengetahuan Fadiah, namun relung jiwa jujurku mengakui pengkhianatan ini. Dalam hari-hariku yang dipenuhi dengan kegiatan makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan wanita yang bernama Fadiah, istriku, tapi Masya Allah aku hanya merasakan kehadiran robot di sampingku, bibit cintaku betul-betul sudah hilang untuknya. Tak ada suara lembut yang kedegaran merdu, tak ada wajah cantik yang terlihat teduh, tak ada perbuatan baik yang menggetarkan jiwa, semua yang dimiliki Fadiah terasa hambar dan salah. Ya Allah, apa arti semua ini?


Di bulan ke lima perkawinanku, aku benar-benar muak menikmati hidup dengan Fadiah, entah kenapa perasaan ini muncul begitu saja. Telah kucoba membuang jauh-jauh rasa ini, apalagi pada istri sendiri yang sudah menjadi pilihanku yang seharusnya kusayang dan kucintai.

Aku mulai berubah, tidak lagi kupaksakan untuk bersikap mesra dengannya, tak bisa lagi aku bermanis-manis dan bermanja-manja dengannya. Aku lebih banyak diam, cuek, sinis, dan tidur pun lebih memilih di ruang nonton TV, ketiduran alasanku padanya. Yang lebih parah lagi, teh dan sarapan pagi yang telah disiapkan Fadiah tak pernah kusentuh, bahkan pergi kerjapun tidak pamit sama sekali. Sungguh siksaan yang luar biasa bagi Fadiah. Tapi siksaan bagiku kurasakan lebih luar biasa lagi. Aku merasa hidupku sangat sia-sia, gelar Doktor yang kuraihpun sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Fadiahpun merasakan perubahan ini, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya :

“Ada apa Bang?”,

“Tidak apa-apa Fadiah…, tahukan? Aku masih terlalu kecil untuk menikah, belum dewasa, masih harus belajar berumah tangga”. Jawabku. Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Fadiah ketika kupanggil namanya secara lengkap.

“Kenapa Bang, biasanya Abang memanggilku “Dinda”? Abang sudah tidak mencintaiku?” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

“Wallahu a’lam” jawabku tanpa perasaan. Dengan mata berkaca-kaca Fadiah diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku.

“Kalau Abang tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Abang ucapkan janji di akad nikah? Kenapa Bang? Kalau perbuatanku dalam melayani Abang ada yang kurang berkenan, kenapa Abang tidak bilang dan menegurnya, itu

hak Abang untuk menegurku. Tolong tunjukkan, aku harus bagaimana untuk membahagiakan Abang? Kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ladang bagi pengabdianku, bagi menyempurnaan ibadahku didunia ini”. Fadiah mengiba penuh pasrah. Aku, si Sufi Anak Zaman, menangis menitikan air mata, tapi bukan karena Fadiah, tetapi karena keterpakuanku. Karena ketololanku.


Waktu terus berlalu, tanpa kusadari kami hidup seperti orang asing, tetapi Fadiah tetap melayaniku dengan setulus hati. Suatu sore di hujan yang lebat aku tetap pulang ke rumah dengan pakaian yang basah kuyup. Sehabis makan malam wajahku mulai kelihatan pucat, bibirku terasa bergetar, gigiku gemerutuk, badanku menggigil, kepala pusing tak alang kepalang. Tak ayal lagi aku terkapar di pembaringan. Kulihat wajah cantik Fadiah penuh khawatir. Ia sibuk mencari obat dan merebus air serta membuatkan teh hangat.

“Kita ke dokter saja Bang?”. Ajaknya dengan kecemasan.

“Tidak usah” jawabku menggigil.

”Kalau begitu Abang mandi air panas, sudah aku siapkan di kamar mandi”, katanya pelan. Dengan tertatih tanpa sepatah katapun aku ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Fadiah telah berdiri didepan pintu membawa handuk.

“Abang minum teh hangat dulu” katanya setelah aku selesai mandi. Aku diam saja. Namun aku minum juga teh itu. Tiba-tiba isi dalam perutku terasa ingin keluar, dan begitu cepat prosesnya aku memuntahkan semua yang ada dalam perutku di lantai kamar tidur yang ditutupi ambal.

Kurasakan Fadiah, isteriku dengan cepat memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu jikala ku sedang sakit. Kemudian ia mengambil kain lap dan membersihkan muntahan itu serta menggulung ambal untuk dicucinya keesokkan hari. Lalu ia kembali ke arahku dengan membawa balsem dan uang logam.

”Saya kerokkin Bang, ya”. Pintanya dengan memelas. Aku hanya diam.

”Kalau Abang nggak biasa dikerok, biar aku gosok dengan minyak angin ya” lanjutnya lagi. Aku tetap diam. Tapi kali ini dia tidak menunggu jawaban, karena ia sudah tahu dari ibu kalau aku biasa dikerokkin. Ia langsung membalik badanku dan mengerokki punggungku yang berotot. Fadiah menyuapi aku dengan semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Fadiah duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil membaca Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Fadiah manis tapi tak semanis Grasia. Fadiah cantik, tapi tak menggetarkan hatiku, ia shaleha, tapi tak jua membuatku bersimpuh padanya. Ya Allah, apa yang terjadi dengan diriku?

Malam itu aku tertidur dan bermimpi bertemu Grasia. Ia berlari ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatanganku. Wajah Grasia sangat cantik, sungguh ia seperti titisan bidadari syorga. Ia berkata dengan lantang ingin menikah denganku. Ia mendekatiku dengan pakaian pengantin yang indah sekali. Aku melangkah maju, ingin memeluknya. Namun tiba-tiba :

“Abang, bangun, sudah jam setengah empat malam, Abang belum sholat Isya” kata Fadiah membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. Aku ingin marah, tapi kulihat Fadiah masih memakai mukenanya, nampaknya ia habis shalat malam. Dengan perasaan dongkol aku menuju kamar mandi dan berwudhu. Sialan, wanita ini telah memutuskan mimpiku, padahal aku sedang senang-senangnya bertemu dengan Grasia. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah  pemutus harapanku dan mimpi-impiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah  dia berbuat baik membangunkanku sholat Isya. Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Fadiah, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Fadiah.

“Abang, tadi Ayuk Halimah menelpon, ibu demam. Kita ke sana sore ini ya…” pintanya. “Nggak enak kalau tidak datang Bang, nanti dikirain saya menantu yang menguasai suami” lanjutnya dengan suara lembut. Sore itu dia telah menyiapkan makanan kesukaan ibuku yaitu kue srikaya. Sebelum berangkat ia telah menyuguhkan teh manis dan kue srikaya ke hadapanku. Dengan gemetar ia berkata : “Sambil dimakan Bang”. Sebetulnya aku terharu, tapi kebencianku telah menelan segalanya. Aku tak peduli dengan kehadirannya. Sambil tetap membaca koran kualihkan arah dudukku membelakanginya.

”Maafkan aku Bang, kalau aku mengganggu” lalu ia berlalu dari situ.


“Fad…diah…….eh Dinda“ panggilku dengan suara tercekat.

“Ya Abang” terhenti langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “Dinda” kembali. Matanya sedikit berbinar.

“Terima kasih atas teh dan kuenya, setengah lima kita ke rumah ibu ya, Insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Fadiah dengan senyum yang kupaksakan. Fadiah menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya.

“Terima kasih Abang, Ibu pasti senang, apalagi kita sudah hampir sebulan belum menjenguknya”. Fadiah begitu bahagia.


Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya berwajah masam atau garang atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Ya Allah, lelaki macam apa aku ini, bangsat sekali kau yang digelari Sufi Anak Zaman. Coba kau perhatikan firman Allah SWT di surat Ar Ruum : 21 :


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“.


Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan tak jua menyentuh hatiku. Wajah cantik Grasia begitu menghentak jantung ini, aku tak kuasa mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.


Kedatangan kami berdua disambut ibu dengan suka cita, banyak saudara dan keponakanku berkumpul di sana. Bahkan ibu mertuakupun datang menjenguk ibuku. Duhai, kalau mataku bisa terbuka, ternyata keluarga kami sudah begitu menyatu. Mereka dengan penuh cinta bercengkrama, tidak ketinggalan Fadiah isteriku, ia begitu bangga menceritakan kehidupan kami dengan saudara-saudara dan keponakkanku. Oh Tuhan, ia mampu menutupi keburukkanku. Ia mampu menutupi keterpurukkannya sendiri. Tak sedikitpun terungkap apa yang terjadi diantara kami. Tak terlintas kesedihan di wajahnya. Ialah malaikat penyelamat itu. Kakak tertuaku sampai-sampai bilang bahwa kami adalah pasangan yang sungguh ideal. Wajah Fadiah cerah. Matanya berbinar binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku

Doktor di bidang ekonomi dan Fadiah lulusan terbaik di IAIN dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Sopan Sopiaan dan Widyawati, atau seperti Romeo dan Juliet. Tapi aku dan isteriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Fadiah. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Fadiah yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada  ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku  sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan  bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih  pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan.

“Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya,  padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku.

“Insya Allah tak lama  lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Abang?” sahut  Fadiah sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Fadiah. Aku  berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Fadiah sebagai seorang istri. Fadiah hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah


hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Fadiah yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Fadiah memasuki bulan ketujuh. Fadiah minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kantorku, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Fadiah berpesan,

“Abang untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di Bank BRI Syariah. Aku taruh di bawah kasur, surat kuasanya sudah aku siapkan. Setelah Fadiah tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya  bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Jogjakarta. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Fadiah. Suatu saat aku pulang kehujanan. Aku lupa membawa jas hujanku, jaketpun tak ada. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Fadiah, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati mengeroki punggungku, lalu menyuruhku


istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Sedikit terasa, andaikan ada Fadiah tentu aku tidak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh. Lintasan Fadiah hilang seiring keberangkatan ke kantor. Apalagi aku mendapat tugas pendidikan ke Jakarta. Di sana aku mendapatkan kawan baru yang menikah dengan seorang yang layak disebut selebritis. Isterinya cantik dan sangat dikenal oleh masyarakat karena sering muncul di televisi.

”Kamu sudah berkeluarga?” tanya Anton, demikian namanya.

“Alhamdulillah, sudah” jawabku.

“Dari kalangan biasa? Pasti orangnya baik ya? Biasanya orang berpendidikan tinggi sepertimu pasti mencari wanita cantik dan mempunyai karir yang tinggi. Tapi menurutku lebih baik kita menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.

“Pernah, Alhamdulillah dia sarjana Agama dan hafal Al Quran”.

“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”.

“Kenapa dengan Bapak?”

“Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan wanita karir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.

“Bagaimana itu bisa terjadi?”.

“Kamu tentu tahu kan gadis cantik dan mempunyai karir cemerlang biasanya membuat kita menderita karena pesonanya. Ceritanya begini, aku berkenalan di suatu penerbangan dengan seorang gadis cantik yang menyandang gelar selebritis, begitu bertemu aku langsung jatuh cinta dan ternyata berlanjut hingga ke jenjang perkawinan. Ketika aku memutuskan untuk menikahinya, teman-temanku memberikan masukkan begini begitu jika menikah dengannya, mereka menyarankan untuk mencari wanita berjilbab dan kuat agamanya. Itu lebih selamat dari pada dengan wanita cantik yang tidak karuan gaya kehidupannya. Tetapi aku tetap teguh pendirian. Dengan biaya yang tinggi aku berhasil menikahi si cantik itu. Tapi sekarang apa? Setelah aku sudah tidak punya banyak uang lagi ia langsung meninggalkanku dan menggugat cerai. Bahkan anak kami satu-satunya ditinggalkan begitu saja, tanpa ia peduli untuk mengunjunginya lagi. Aku sudah mati-matian mencari peluang usaha yang lain, demi memenuhi keinginan isteriku dan anakku. Semua harta kekayaan orang tua sudah terjual dan kini tempat tinggalpun sudah tidak kumiliki lagi, aku sekarang mengontrak. Aku sangat menyesal telah meletakkan kecantikan diatas segalanya. Aku telah diperbudak oleh popularitas. Hatiku bagaikan ikan yang mati di lautan. Padahal aku tahu dia sudah biasa pergi kemana-mana dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Sudah terbiasa berpesta pora. Sedangkan aku? Aku tak pernah mengenal dunia mereka. Aku sadar, aku telah melanggar ayat Allah dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 3 :



Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.



Mendengar cerita Pak Anton, aku jadi terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Fadiah. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba tiba ada kerinduan  yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah  meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan.  Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun  hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Fadiah telah menyala di relungnya. Apa yang sedang dilakukan Fadiah sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah sembilan bulan. Berarti ia akan melahirkan atau sudah melahirkan? Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.



Menjelang pulang ke Palembang aku menyempatkan belanja ke Pasar Mangga Dua, ku beli pakaian muslim untuk Fadiah, kubeli pakaian bayi untuk anakku yang dikandungnya. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakkan untuk mengambil buku tabungan, yang disimpan dibawah kasur, lalu kutemukan pula kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Apakah ia serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Ya Allah, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Fadiah yang selama ini aku zalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, merendam rindu akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah-lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan Ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku. “Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Fadiah. Dalam akhir tulisannya Fadiah berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Menyerahkan hati sombong ini pada-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan hamba-Mu ini


hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak  mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”. Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Fadiah terbayang. Wajahnya yang manis dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keterpurukkan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Grasia telah memudar berganti cinta Fadiah yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Fadiah tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku.

Cahaya Fadiah terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Fadiah. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. “Mana Fadiah Bu?”. Kataku dengan serak karena tercekat. Kulihat ibuku dan saudara-saudaraku juga berkumpul di situ. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

“Fadiah…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya”.

“Ada apa dengan dia“?

“Dia telah tiada”. “Ibu berkata

“Apa!”.

“Istrimu telah pergi tadi pagi ketika hendak melahirkan. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya  ke rumah sakit. Tapi dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah membuatmu menderita. Dia minta kau meridhoinya”. Hatiku bergetar hebat. Dadaku terguncang.

“Kenapa ibu tidak menelepon dari pagi tadi?”.

“Ketika Fadiah dibawa ke rumah sakit, aku telah mencoba menelponmu, tapi Hpmu tidak aktif, ibu pikir, engkau sudah

dalam pesawat, karena hari ini jadwal kepulanganmu. Jadi kami tunggu saja kedatanganmu, maafkanlah  kami”. Aku menangis tersedu sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan  cinta Fadiah, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah  meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia pergi untuk selamanya. Dia telah  meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf  dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan  perasaan bersalah tiada terkira. Aku menangis di jasad Fadiah yang kaku. Aku ingin Fadiah hidup kembali. Dunia tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita …………
~Nikah~
Nikahi Aku Seutuhnya

Nikah itu ibadah

Nikah itu suci

Nikah itu memang bisa karena harta, bisa

karena kecantikan, bisa karena keturunan dan bisa karena agama

Jangan engkau jadikan harta, keturunan maupun kecantikan sebagai alasan, karena semua itu akan mencelakakan kita

Jadikanlah agama sebagai alasan, niscaya engkau akan mendapatkan kebahagiaan

Tidak dipungkiri bahwa keluarga terbentuk karena cinta

Namun jika engkau jadikan cinta sebagai landasan, maka keluargamu akan rapuh akan mudah hancur

Jadikanlah Allah sebagai landasan, niscaya engkau akan selamat

Tidak saja didunia tapi juga di akhirat.

Jadikanlah ridho Allah sebagai tujuan, niscaya mawaddah, sakinah dan rahmah akan tercapai


Ketika aku memutuskan untuk menikah dengan Fadiah, aku telah bersumpah untuk menerimanya apa adanya, karena dialah pilihanku saat ini. Apalagi ibuku sangat menyukainya.

“Kamu harus ikhlas menerima Fadiah sebagai isterimu” kata Ibu menasehatiku.

“Insya Allah, Bu” Jawabku sambil tersenyum. Namun demikian tetap saja terjadi pergulatan jiwa yang sulit selama berhari-hari, karena ketakutanku menghadapi perubahan dalam menjalani hidupku nanti. “Hei, Sufi Anak Zaman tidak boleh lemah semangat” kata ibu ketika melihatku menjadi loyo. Aku tersenyum mendengar perkataan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, ah Ibu, engkaulah pelita hidupku.

Sebenarnya aku baru tiga bulan mengenal Fadiah, itupun aku tidak yakin apakah aku cinta atau tidak padanya. Yang kurasakan hanyalah keberadaan Fadiah membuat aku ingin memilikinya. Ia memiliki apa yang kuharapkan selama ini, cantik, keturunan baik-baik, dan taat beragama. Dengan hati yang bulat akhirnya aku mantapkan niat untuk menikah dengan Fadiah, karena ia telah memenuhi kriteriku, apalagi ibu sangat mendukungnya. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya. Yang jelas pada saat khitbah (lamaran) tiba aku melihat wajah Fadiah yang baby face dan anggun begitu bahagia menerima lamaran ini. Namun satu hal yang masih sangat menggangguku, disaat pernikahan sudah semakin dekat, aku tergoda oleh gadis lain yang memiliki wajah jauh di atas rata-rata, Namanya Grasia, ia begitu mirip dengan gadis-gadis bintang sabun mandi terkenal, tinggi semampai, wajahpun putih jelita dengan hidung yang bangir dan melengkung indah, ditambah lagi mata yang bening serta bibir merah, ramah dalam bertutur kata, sungguh sangat menawan. Ia kaya dan mempunyai karir cemerlang di perusahaan tempatnya

bekerja. Baru tiga tahun bekerja ia telah dipercaya sebagai kepala salah satu divisi di sana. Sungguh, Grasia begitu menggoda.


Dihari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menghilangkan bayang-bayang wajah itu, aku konsentrasikan pikiranku hanya untuk Fadiah calon isteriku, namun ternyata usahaku itu hanyalah sia-sia semata. Aku ingin menyampaikannya pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Aku ingin membatalkan pernikahan itu, tapi wajah ibuku yang sedang menangis jika hal itu terjadi selalu membayangiku. Hari pernikahan datang. Duduk di pelaminan bagai mayat hidup, hati hampa mengingat Grasia yang telah mencuri hatiku. Sedang apa dia sekarang? Kenapa dia tidak muncul di pesta pernikahanku? Padahal aku telah mengundangnya dan dia berjanji untuk datang ke pestaku. Beribu pertanyaan berkecamuk di kepalaku. Betapapun meriahnya pesta pernikahan itu, semuanya terasa menusuk-nusuk hatiku. Kulihat Fadiah tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku bergemuruh. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT karena pernikahan ini telah direstui ibu yang kucintai.


Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi hatiku bukan ke Fadiah, tapi ke gadis lain yang sedang kucinta, hanya karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayat-Nya, maka aku tetap bersikap romantis pada Fadiah.

Fadiah tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku. Akhirnya kami memutuskan untuk hidup mandiri, kuajak Fadiah pindah ke rumah kontrakan di lorong sempit pinggir kota Palembang, tapi dekat dengan tempatku bekerja. Di sinilah mulainya kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah untuk mencintai Fadiah kembali, hatiku sudah dibawa oleh Grasia yang mungkin kecewa dengan pernikahanku. Akhirnya aku mengunjungi Grasia, aku mampu bercengkerama berlama-lama dengannya. Ia sangat kecewa. Tapi dia masih menerima kehadiranku, akupun rasanya tak ingin lepas dari Grasia. Tapi aku tahu ini salah, walaupun tanpa sepengetahuan Fadiah, namun relung jiwa jujurku mengakui pengkhianatan ini. Dalam hari-hariku yang dipenuhi dengan kegiatan makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan wanita yang bernama Fadiah, istriku, tapi Masya Allah aku hanya merasakan kehadiran robot di sampingku, bibit cintaku betul-betul sudah hilang untuknya. Tak ada suara lembut yang kedegaran merdu, tak ada wajah cantik yang terlihat teduh, tak ada perbuatan baik yang menggetarkan jiwa, semua yang dimiliki Fadiah terasa hambar dan salah. Ya Allah, apa arti semua ini?


Di bulan ke lima perkawinanku, aku benar-benar muak menikmati hidup dengan Fadiah, entah kenapa perasaan ini muncul begitu saja. Telah kucoba membuang jauh-jauh rasa ini, apalagi pada istri sendiri yang sudah menjadi pilihanku yang seharusnya kusayang dan kucintai.

Aku mulai berubah, tidak lagi kupaksakan untuk bersikap mesra dengannya, tak bisa lagi aku bermanis-manis dan bermanja-manja dengannya. Aku lebih banyak diam, cuek, sinis, dan tidur pun lebih memilih di ruang nonton TV, ketiduran alasanku padanya. Yang lebih parah lagi, teh dan sarapan pagi yang telah disiapkan Fadiah tak pernah kusentuh, bahkan pergi kerjapun tidak pamit sama sekali. Sungguh siksaan yang luar biasa bagi Fadiah. Tapi siksaan bagiku kurasakan lebih luar biasa lagi. Aku merasa hidupku sangat sia-sia, gelar Doktor yang kuraihpun sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia. Fadiahpun merasakan perubahan ini, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya :

“Ada apa Bang?”,

“Tidak apa-apa Fadiah…, tahukan? Aku masih terlalu kecil untuk menikah, belum dewasa, masih harus belajar berumah tangga”. Jawabku. Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Fadiah ketika kupanggil namanya secara lengkap.

“Kenapa Bang, biasanya Abang memanggilku “Dinda”? Abang sudah tidak mencintaiku?” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih.

“Wallahu a’lam” jawabku tanpa perasaan. Dengan mata berkaca-kaca Fadiah diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku.

“Kalau Abang tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri, kenapa Abang ucapkan janji di akad nikah? Kenapa Bang? Kalau perbuatanku dalam melayani Abang ada yang kurang berkenan, kenapa Abang tidak bilang dan menegurnya, itu

hak Abang untuk menegurku. Tolong tunjukkan, aku harus bagaimana untuk membahagiakan Abang? Kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ladang bagi pengabdianku, bagi menyempurnaan ibadahku didunia ini”. Fadiah mengiba penuh pasrah. Aku, si Sufi Anak Zaman, menangis menitikan air mata, tapi bukan karena Fadiah, tetapi karena keterpakuanku. Karena ketololanku.


Waktu terus berlalu, tanpa kusadari kami hidup seperti orang asing, tetapi Fadiah tetap melayaniku dengan setulus hati. Suatu sore di hujan yang lebat aku tetap pulang ke rumah dengan pakaian yang basah kuyup. Sehabis makan malam wajahku mulai kelihatan pucat, bibirku terasa bergetar, gigiku gemerutuk, badanku menggigil, kepala pusing tak alang kepalang. Tak ayal lagi aku terkapar di pembaringan. Kulihat wajah cantik Fadiah penuh khawatir. Ia sibuk mencari obat dan merebus air serta membuatkan teh hangat.

“Kita ke dokter saja Bang?”. Ajaknya dengan kecemasan.

“Tidak usah” jawabku menggigil.

”Kalau begitu Abang mandi air panas, sudah aku siapkan di kamar mandi”, katanya pelan. Dengan tertatih tanpa sepatah katapun aku ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Fadiah telah berdiri didepan pintu membawa handuk.

“Abang minum teh hangat dulu” katanya setelah aku selesai mandi. Aku diam saja. Namun aku minum juga teh itu. Tiba-tiba isi dalam perutku terasa ingin keluar, dan begitu cepat prosesnya aku memuntahkan semua yang ada dalam perutku di lantai kamar tidur yang ditutupi ambal.

Kurasakan Fadiah, isteriku dengan cepat memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu jikala ku sedang sakit. Kemudian ia mengambil kain lap dan membersihkan muntahan itu serta menggulung ambal untuk dicucinya keesokkan hari. Lalu ia kembali ke arahku dengan membawa balsem dan uang logam.

”Saya kerokkin Bang, ya”. Pintanya dengan memelas. Aku hanya diam.

”Kalau Abang nggak biasa dikerok, biar aku gosok dengan minyak angin ya” lanjutnya lagi. Aku tetap diam. Tapi kali ini dia tidak menunggu jawaban, karena ia sudah tahu dari ibu kalau aku biasa dikerokkin. Ia langsung membalik badanku dan mengerokki punggungku yang berotot. Fadiah menyuapi aku dengan semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Fadiah duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil membaca Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Fadiah manis tapi tak semanis Grasia. Fadiah cantik, tapi tak menggetarkan hatiku, ia shaleha, tapi tak jua membuatku bersimpuh padanya. Ya Allah, apa yang terjadi dengan diriku?

Malam itu aku tertidur dan bermimpi bertemu Grasia. Ia berlari ke arahku sambil merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatanganku. Wajah Grasia sangat cantik, sungguh ia seperti titisan bidadari syorga. Ia berkata dengan lantang ingin menikah denganku. Ia mendekatiku dengan pakaian pengantin yang indah sekali. Aku melangkah maju, ingin memeluknya. Namun tiba-tiba :

“Abang, bangun, sudah jam setengah empat malam, Abang belum sholat Isya” kata Fadiah membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. Aku ingin marah, tapi kulihat Fadiah masih memakai mukenanya, nampaknya ia habis shalat malam. Dengan perasaan dongkol aku menuju kamar mandi dan berwudhu. Sialan, wanita ini telah memutuskan mimpiku, padahal aku sedang senang-senangnya bertemu dengan Grasia. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-impiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku sholat Isya. Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Fadiah, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Fadiah.

“Abang, tadi Ayuk Halimah menelpon, ibu demam. Kita ke sana sore ini ya…” pintanya. “Nggak enak kalau tidak datang Bang, nanti dikirain saya menantu yang menguasai suami” lanjutnya dengan suara lembut. Sore itu dia telah menyiapkan makanan kesukaan ibuku yaitu kue srikaya. Sebelum berangkat ia telah menyuguhkan teh manis dan kue srikaya ke hadapanku. Dengan gemetar ia berkata : “Sambil dimakan Bang”. Sebetulnya aku terharu, tapi kebencianku telah menelan segalanya. Aku tak peduli dengan kehadirannya. Sambil tetap membaca koran kualihkan arah dudukku membelakanginya.

”Maafkan aku Bang, kalau aku mengganggu” lalu ia berlalu dari situ.


“Fad…diah…….eh Dinda“ panggilku dengan suara tercekat.

“Ya Abang” terhenti langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “Dinda” kembali. Matanya sedikit berbinar.

“Terima kasih atas teh dan kuenya, setengah lima kita ke rumah ibu ya, Insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Fadiah dengan senyum yang kupaksakan. Fadiah menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya.

“Terima kasih Abang, Ibu pasti senang, apalagi kita sudah hampir sebulan belum menjenguknya”. Fadiah begitu bahagia.


Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya berwajah masam atau garang atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Ya Allah, lelaki macam apa aku ini, bangsat sekali kau yang digelari Sufi Anak Zaman. Coba kau perhatikan firman Allah SWT di surat Ar Ruum : 21 :


Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“.


Aku memaki-maki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini. Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan tak jua menyentuh hatiku. Wajah cantik Grasia begitu menghentak jantung ini, aku tak kuasa mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.


Kedatangan kami berdua disambut ibu dengan suka cita, banyak saudara dan keponakanku berkumpul di sana. Bahkan ibu mertuakupun datang menjenguk ibuku. Duhai, kalau mataku bisa terbuka, ternyata keluarga kami sudah begitu menyatu. Mereka dengan penuh cinta bercengkrama, tidak ketinggalan Fadiah isteriku, ia begitu bangga menceritakan kehidupan kami dengan saudara-saudara dan keponakkanku. Oh Tuhan, ia mampu menutupi keburukkanku. Ia mampu menutupi keterpurukkannya sendiri. Tak sedikitpun terungkap apa yang terjadi diantara kami. Tak terlintas kesedihan di wajahnya. Ialah malaikat penyelamat itu. Kakak tertuaku sampai-sampai bilang bahwa kami adalah pasangan yang sungguh ideal. Wajah Fadiah cerah. Matanya berbinar binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal. Apanya yang ideal. Apa karena aku

Doktor di bidang ekonomi dan Fadiah lulusan terbaik di IAIN dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Sopan Sopiaan dan Widyawati, atau seperti Romeo dan Juliet. Tapi aku dan isteriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Fadiah. Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Fadiah yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan.

“Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku.

“Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Abang?” sahut Fadiah sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya. Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Fadiah. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Fadiah sebagai seorang istri. Fadiah hamil. Ia semakin manis. Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah


hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingga Fadiah yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Mana tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku. Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Fadiah memasuki bulan ketujuh. Fadiah minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kantorku, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Fadiah berpesan,

“Abang untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di Bank BRI Syariah. Aku taruh di bawah kasur, surat kuasanya sudah aku siapkan. Setelah Fadiah tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya. Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Jogjakarta. Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Fadiah. Suatu saat aku pulang kehujanan. Aku lupa membawa jas hujanku, jaketpun tak ada. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntah-muntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas di hati andaikan ada Fadiah, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati mengeroki punggungku, lalu menyuruhku


istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Sedikit terasa, andaikan ada Fadiah tentu aku tidak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh. Lintasan Fadiah hilang seiring keberangkatan ke kantor. Apalagi aku mendapat tugas pendidikan ke Jakarta. Di sana aku mendapatkan kawan baru yang menikah dengan seorang yang layak disebut selebritis. Isterinya cantik dan sangat dikenal oleh masyarakat karena sering muncul di televisi.

”Kamu sudah berkeluarga?” tanya Anton, demikian namanya.

“Alhamdulillah, sudah” jawabku.

“Dari kalangan biasa? Pasti orangnya baik ya? Biasanya orang berpendidikan tinggi sepertimu pasti mencari wanita cantik dan mempunyai karir yang tinggi. Tapi menurutku lebih baik kita menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”.

“Pernah, Alhamdulillah dia sarjana Agama dan hafal Al Quran”.

“Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”.

“Kenapa dengan Bapak?”

“Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan wanita karir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”.

“Bagaimana itu bisa terjadi?”.

“Kamu tentu tahu kan gadis cantik dan mempunyai karir cemerlang biasanya membuat kita menderita karena pesonanya. Ceritanya begini, aku berkenalan di suatu penerbangan dengan seorang gadis cantik yang menyandang gelar selebritis, begitu bertemu aku langsung jatuh cinta dan ternyata berlanjut hingga ke jenjang perkawinan. Ketika aku memutuskan untuk menikahinya, teman-temanku memberikan masukkan begini begitu jika menikah dengannya, mereka menyarankan untuk mencari wanita berjilbab dan kuat agamanya. Itu lebih selamat dari pada dengan wanita cantik yang tidak karuan gaya kehidupannya. Tetapi aku tetap teguh pendirian. Dengan biaya yang tinggi aku berhasil menikahi si cantik itu. Tapi sekarang apa? Setelah aku sudah tidak punya banyak uang lagi ia langsung meninggalkanku dan menggugat cerai. Bahkan anak kami satu-satunya ditinggalkan begitu saja, tanpa ia peduli untuk mengunjunginya lagi. Aku sudah mati-matian mencari peluang usaha yang lain, demi memenuhi keinginan isteriku dan anakku. Semua harta kekayaan orang tua sudah terjual dan kini tempat tinggalpun sudah tidak kumiliki lagi, aku sekarang mengontrak. Aku sangat menyesal telah meletakkan kecantikan diatas segalanya. Aku telah diperbudak oleh popularitas. Hatiku bagaikan ikan yang mati di lautan. Padahal aku tahu dia sudah biasa pergi kemana-mana dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Sudah terbiasa berpesta pora. Sedangkan aku? Aku tak pernah mengenal dunia mereka. Aku sadar, aku telah melanggar ayat Allah dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 3 :



Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.



Mendengar cerita Pak Anton, aku jadi terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Fadiah. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bulan aku berpisah dengannya. Tiba tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Fadiah telah menyala di relungnya. Apa yang sedang dilakukan Fadiah sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah sembilan bulan. Berarti ia akan melahirkan atau sudah melahirkan? Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.



Menjelang pulang ke Palembang aku menyempatkan belanja ke Pasar Mangga Dua, ku beli pakaian muslim untuk Fadiah, kubeli pakaian bayi untuk anakku yang dikandungnya. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakkan untuk mengambil buku tabungan, yang disimpan dibawah kasur, lalu kutemukan pula kertas merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Apakah ia serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan Ya Allah, ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Fadiah yang selama ini aku zalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, merendam rindu akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah-lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan Ya Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya. Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku. “Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Fadiah. Dalam akhir tulisannya Fadiah berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Menyerahkan hati sombong ini pada-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan hamba-Mu ini


hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku. Ya Allah, dengan rahmat-Mu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”. Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Fadiah terbayang. Wajahnya yang manis dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keterpurukkan terasa ada angin sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Grasia telah memudar berganti cinta Fadiah yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Fadiah tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku.

Cahaya Fadiah terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi cintaku dengan Fadiah. Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. “Mana Fadiah Bu?”. Kataku dengan serak karena tercekat. Kulihat ibuku dan saudara-saudaraku juga berkumpul di situ. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

“Fadiah…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya”.

“Ada apa dengan dia“?

“Dia telah tiada”. “Ibu berkata

“Apa!”.

“Istrimu telah pergi tadi pagi ketika hendak melahirkan. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Tapi dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu. Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah membuatmu menderita. Dia minta kau meridhoinya”. Hatiku bergetar hebat. Dadaku terguncang.

“Kenapa ibu tidak menelepon dari pagi tadi?”.

“Ketika Fadiah dibawa ke rumah sakit, aku telah mencoba menelponmu, tapi Hpmu tidak aktif, ibu pikir, engkau sudah

dalam pesawat, karena hari ini jadwal kepulanganmu. Jadi kami tunggu saja kedatanganmu, maafkanlah kami”. Aku menangis tersedu sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta Fadiah, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia pergi untuk selamanya. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira. Aku menangis di jasad Fadiah yang kaku. Aku ingin Fadiah hidup kembali. Dunia tiba-tiba berubah menjadi gelap gulita …………





~Copy Paste too... but in indonesia slank... harap mengerti ya... hehehe... ~

~Apa Salahku, Mama?~

~BaBy~
Bulan 1: ma, panjangku udah 2cm loh, aku udah ada dibadan mama sekarang. Aku sayang mama, bunyi detak jantung mama itu jadi musik terindah yang menemaniku dsini.

Bulan 2: ma, sekarang aku udah bisa ngisep jari imutku loh, disini hangat ma, aku suka. nanti kalau aku sudah keluar mama janji mau main sama aku.

Bulan 3: ma, meskipun aku belum tau jenis kelaminku, tapi apapun itu, aku harap mama dan papa bahagia kelak ketika aku keluar. karena sesuai dengan yang mama dan papa pengen. jangan nangis ya ma, kalau mama nangis disini aku juga ikut nangis,

Bulan 4: ma, aku senang. sekarang rambutku sudah mulai tumbuh, trus aku juga bisa menggerakan kepalaku, putar kiri putar kanan. aku ga sabar mau keluar ma. mama. jangan pukuli perut mama, aku ada di dalam ma. aku sakit kalau mama pukul perut mama.

Bulan 5: ma, mama tadi ke dokter ya, trus dokter bilang apa? ma, dokter itu bilang tentang ABORSI. itu apa ma? aku ga diapa²in kan ma? aku takut, ma.

Bulan 6: mama dateng ke dokter itu lagi ya ? ma, tolong kasih tau dokter itu, disini aku, baik² aja. semuanya tumbuh dengan begitu baik.

ma, kenapa dokter itu mulai memasukan benda tajam? ma aku takut sekali. tolong aku, ma.
sekarang benda tajam itu mulai memotong rambutku ma. aku semakin takut ma. kenapa benda tajam itu mulai memotong kakiku? sakiittt maa.. tapi meskipun aku ga punya kaki, aku masih punya tangan yang bisa memeluk
mama.. kenapa benda itu sekarang juga memotong tanganku? mama tolong aku.. aku janji nanti ga akan nakal maaa.. meskipun aku ga punya tangan dan kaki, aku masih punya mata dan telinga untuk aku bisa mendengar mendengar suara mama, tapi.. benda itu sekarang sudah
di depan leherku dan mulai memotongnya. maamaaa. ampuun maa. beri aku kesempatan untuk hidup, aku sayang mama, aku pengen meluk mama.

Bulan 7: ma, aku disini baik² aja, aku udah sama Tuhan di surga, Tuhan mengembalikan semua organ tubuhku yang dipotong benda tajam itu, Tuhan memelukku, memegang tanganku, dan menggendongku dengan lembut, Tuhan membisikan tentang apa itu ABORSI. kenapa mama tega melakukan itu? apa salahku ma? kenapa mama ga mau main sama aku? kenapa mama membenciku? aku anakmu ma. mama jangan lakukan aborsi lagi yah, biar Tuhan mau antar mama kesini, nanti kita main bareng² dsini, ajak papa juga ya ma. aku tunggu mama di surga.

===================================================
mereka tidak bisa memilih, mereka ada di rahim siapa untuk bertumbuh. mereka ada karena kita. haruskah mereka kita siksa? jika kita tidak ingin mereka tumbuh di dalam rahim kita, hentikan dan jangan berbuat apapun. agar mereka tidak bertumbuh, mereka yang tidak ingin kita miliki, kalaupun bisa memilih, pasti tidak akan memilih untuk tumbuh di dalam kita yang tidak menginginkannya.





Copy Paste dr fb... hehehehe... smoga menjadi teladan untuk kita smua...  smoga bermanfaat....

~Izinkan Aku Mencintai-Mu Semampuku~

Tuhanku......
Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintaiMu. Kajian demi kajian tarbiyah kupelajari, untai demi untai kata para ustadz kuresapi. Tentang cinta para nabi, tentang kasih para sahabat, tentang muhabbah orang shalih, tentang kerinduan para syuhada. Lalu kutan

am di jiwa dalam-dalam, kutumbuhkan dalam mimpi idealisme yang mengawang di awan.

Tapi Rabbi......
Berbilang hari demi hari dan kemudian tahun berlalu, tapi aku masih juga tak menemukan cinta tertinggi untuk-Mu, aku makin merasakan gelisahku memadai dalam cita yang mengawang, sedang kakiku mengambang. Hingga aku terhempas dalam jurang dan kegelapan.

Allahu Rahiim, Illahi Rabbii......
Perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku....
Perkenankanlah aku mencintai-Mu, sebisaku. Dengan segala kelemahanku.
Ilaahi aku tak sanggup mencintai-Mu dengan kesabaran menanggung derita.
Umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa hingga Al-Mustafa. Karena itu ijinkan aku mencintai-Mu melalui keluh kesah pengaduanku pada-Mu, atas derita batin dan jasadku, atas sakit dan ketakutanku.

Rabbii......
Aku tak sanggup mencintai-Mu seperti Abu Bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan RasulMu bagi diri dan keluarganya. Atau layaknya Umar yang menyerahkan separo hartanya demi jihad. Atau Ustman yang menyerahkan 1000 ekor kuda untuk syiarkan Dien-Mu. Ijinkan aku mencintai-Mu, melalui 500-1000 perak yang terulur pada tangan-tangan kecil di perempatan jalan, pada wanita-wanita tua yang menadahkan tangan di pojok-pojok jembatan. Pada makanan-makanan yang terkirim ke handai taulan.

Illahi......
Aku tak sanggup mencintaiMu dengan khusyuknya shalat salah seorang sahabat nabiMu, hingga tiada terasa anak panah musuh terhujam di kakinya. Karena itu Ya Allah, perkenankanlah aku tertatih menggapai cintaMu, dalam shalat yang coba kudirikan dengan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.

Rabbii.....
Aku tak dapat beribadah ala orang-orang shalih atau bagai para al hafidz dan hafidzah yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta denganMu dalam satu putaran malam. Perkenankanlah aku mencintaiMu, melalui satu - dua rakaat sholat lailku, atau sekedar sunnah nafilahku, selembar dua lembar tilawah harianku. Lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.

Yaa Rahiim.....
Aku tak sanggup mencintaiMu semisal para syuhada, yang menjual dirinya dalam jihad bagiMu. Maka perkenankanlah aku mencintaiMu dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu, dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru ditempat mana diriku berpijak.

Allahu Kariim....
Aku tak sanggup mencintaiMu di atas segalanya, ijinkan aku mencintaiMu dengan mencintai keluargaku, membawa mereka pada nikmatnya hidayah dalam naungan Islam, manisnya iman dan ketabahan. Dengan mencintai sahabat-sahabatku, mengajak mereka untuk lebih mengenalMu, dengan mencintai manusia dan alam semesta.

Perkenankanlah aku mencintaiMu semampuku, Yaa Allah. Agar cinta itu mengalun dalam jiwa. Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku.

(Seorang hamba yang tertatih dalam meniti cinta-Mu dalam 9760 hari waktu yang telah Kau berikan di muka bumi ini)